Friday, August 24, 2018

Ngapain Sih ke Luar Negeri?

  
Pergi ke luar negeri nggak buat ‘gaya-gaya’ doang ya! So many things that will broaden our perspective when we go abroad. Daaan di LNnya juga nggak cuma sama teman Indo aja dong. Okelah kalo ke LN serombongan sama kerabat Indo, mau cari makanan halal, mau cari waktu dan tempat sholat, bisa dicari bareng-bareng. Kalo diri kita cuma sendiri?

Nambah wawasan, jaringan, pengetahuan, itu udah pasti yaa. Mungkin ini cerita dari sisi yang berbeda.

Aku mau share pengalamanku ketika beberapa kali stay di LN bareng orang LN, dan aku yang Muslim seorang diri. Kita akan merasakan hal-hal yang itu mungkin nggak akan kita dapatkan di Negara sendiri, atau daerah yang sebagian besar satu kepercayaan dengan kita.

Bagaimana kita bilang ke teman di sana kalau kita nggak makan babi (mostly mereka nggak tau apa itu halal), jadi biasanya aku bilang nggak makan babi/mengandung minyak babi. Padahal daging lain (ayam, sapi, dll) pun nggak terjamin itu halal atau makanan itu nggak terjamin bebas dari minyak babi. Aku pernah saat di tempat makan, seorang chef menunjukkan kemasan daging yang belum dimasak, ada logo halal-nya (Biasanya di Negara maju, daging sapi ber-halal certified, karena memang sudah menjadi regulasi untuk menyembelih secara halal). Daging sapi yang tersertifikasi halal pun nggak terjamin dimasaknya nggak bareng sama yang daging babi.

Pernah juga temanku mengira kalau aku nggak makan ‘potongan daging babi’nya nggak apa-apa. Waktu itu ada makanan semacam nasi goreng yang itu ada campuran smoked beef tapi pork. Temanku bilang, ini makan aja, nanti pork-nya disisihkan buat aku. Huehehe terus aku jelasin kalau yang seperti itu juga nggak bisa karena pork-nya mixed with the food.

Bagaimana kita sholat di tempat umum kalau pas nggak nemu prayer room, di tempat terbuka, dilihatin banyak orang.

Bagaimana kita ‘izin’ untuk sholat di tengah kegiatan sedang berlangsung (biasanya saat kita mengikuti agenda yang diadakan oleh pihak sana (yang mostly non Muslim) nggak ada waktu khusus break buat sholat). Apalagi kalau minta dicarikan ‘tempat yang aman’ buat sholat.. Bagaimana kita sholat di pinggir jalan/pojokan/tempat terbuka kalau kegiatan sedang berlangsung di luar.

Bagaimana kita pintar-pintar curi waktu buat sholat. Saat ada kesempatan, aku cari waktu buat sholat dhuhur-ashar karena acara dari pagi sampai malam. Ini salah satu dokumentasi saat aku menemani temanku sholat di pinggir jalan bersama dengan teman dari Uzbekistan.

Ceritanya kami sedang mengikuti festival tarian yang mana menarinya dari jalan ke jalan (moving terus). Saat sedang break sebentar dan kami putuskan untuk sholat. Aku jagain mereka (karena aku lagi ‘libur’) biar kalau ada orang tanya, aku yang jawab. Waktu itu rombongan udah mau lanjut ke tempat selanjutnya. Teman-teman yang lain udah pada jalan lalu staff menyuruh kami untuk jalan juga. Aku kasih ‘sign’ kalo temanku lagi ‘pray’. Yah staff menunggu kami sampai selesai, Alhamdulillah, baik banget. Kata temanku saat sholat “rasanya kayak bener-bener di antara hidup dan mati, udah nggak kepikiran ketinggalan rombongan, yang ada di dalam pikiran cuma yang penting sholat dulu..”. Sayang sekali, aku lagi nggak bisa merasakannya karena libur, hehe..

Bagaimana kita mau membaca Al Qur’an di depan mereka. Bagaimana kita sholat di depan mereka saat stay sekamar dengan mereka. Kenapa kita ‘pray’ beberapa kali dalam sehari. Izin dulu laah kalau kita mau ‘pray’ sebentar. Saat aku memulai sholat—mengucap Allahu Akbar (dalam hati), suasana hening seketika wkwk, sedikit awkward😂 Entah mungkin mereka lihatin kita saat sholat, atau saling pandang-memandang (kalau ada beberapa orang LN). Selain sholat sendiri di kamar (yang mana sekamar dengan teman2 LN), aku juga pernah yang sholat sendiri di temple! Temple guys, you know? Temple-nya orang Buddha… waktu itu sempat beberapa hari aku dan team stay di sana (cuma aku yang Muslim). Di temple itu banyaak anjing mondar-mandir ðŸ˜Ÿ aku Bismillah aja karena not sure tempat yang aku pijak buat sholat itu ada najisnya atau enggak. Aku juga cari tempat yang sekiranya ‘nggak terekspos’, seperti di balik tiang-tiang besar temple.
Ini foto temple saat aku stay, aku sholatnya di balik tiang-tiang itu. Bisa dilihat di pojok, itu ada patung-patung. Maaf sedikit disensor, ada foto teman sedang tiduran hehe.
Kotak-kotak yang dipasang itu anti-mosquito net gengs, hehe. 

Jelasin kenapa kita (muslimah) pakai hijab. Kenapa hijab ‘model’nya macem-macem (ada yang lebar menutup dada, bahkan nutup wajah (cadar maksudnya), atau ada yang pendek, malah cuma ‘turban’). Kenapa ada wanita muslim tapi nggak berhijab. Apakah di Indo wanita-nya berhijab semua? Wkwk, mungkin pernah ada yang mengira kalau dari Indonesia itu pakai hijab, padahal di Negara kita juga diverse yaa…

Bagaimana ketika ada teman laki-laki mengajak bersalaman.. Setelah mereka tau, mereka jadi lebih ‘menghormati’ kita lhoo, hihi..

Jelasin kenapa kita puasa. Pernah aku ke LN saat waktu puasa. Kenapa aku puasa tapi kok dia (teman sesama orang Indo) nggak puasa (karena dia bukan Muslim).. Orang LN mengira semua orang Indo puasa. Mereka belum tau kalau yang puasa itu yang Muslim. Puasanya nggak boleh makan aja tapi boleh minum, atau nggak boleh makan-minum sama sekali? Puasanya dari kapan sampai kapan? Puasa selama berapa hari? Mereka heran hehe kok bisa kuat yaa..

Bagaimana kita berkenalan dengan orang atheis. Mereka yang baru denger ‘Muslim’ pas ketemu kita. Bahkan mereka nggak tau apa itu ‘agama’ yang otomatis nggak tau apa itu Muslim, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dll…

Saat kita dekat dengan mereka kemudian mereka dan kita terbuka untuk sharing yang lebih “privasi”,  mereka pernah bertanya ke kita Apakah kamu bisa menikah dengan orang yang bukan Muslim? Hehehe..

Ketika aku melakukan kegiatan relawan vaksinasi anjing, mereka ada yang sedikit tau bahwa Muslim nggak boleh menyentuh anjing. Nah itu dijelasin sebenernya gimana, bukannya “nggak boleh” namun kita harus membersihkan setelah menyentuhnya. Apakah itu menyentuh anjing keseluruhan atau air liurnya saja, itu juga dijelasin.

Bagaimana kita (muslimah) tetap ‘tertutup’ saat memasuki onsen. Apa itu onsen? Hehe. Jadi, onsen itu tempat berendam air panas yang semua orang di situ totally naked! Yah, jadi kita bisa melihat ‘privasi’ semua orang yang ada di dalam onsen itu (maaf) dari atas sampai bawah (of course, onsen wanita dan pria terpisah). Saat aku mau masuk, aku minta izin untuk tetap mengenakan pakaian tertutup (aku bawa baju muslimah yang bisa buat renang itu). Mungkin karena alasan religi, mereka tetap welcome dan membolehkan aku dengan yang ‘satu-satunya mengenakan baju’ saat memasuki onsen, hehehe merasa ‘terhormat’ banget :’)
Inilah onsen. Aku ngga bisa ngefoto saat aku di sana karena untuk menjaga privasi (pict from : trip101.com)

Ke kampus udah biasa lihat orang pake kaos oblong, sandal, celana pendek (cowok), celana atau rok pendek banget (cewek), tank top, dll. Berbeda sekali dengan budaya kita yang kalau ke kampus paling enggak pakai kaos berkerah, rok nggak yang pendek-pendek banget lah, bahkan harus pake kameja (tergantung kebijakan kampus masing-masing sih..)

Ke luar negeri membuat kita menjadi belajar untuk menghormati orang lain—orang-orang asing ituuu yang nggak akan kita temui ‘suasana’nya kalau kita di Negara sendiri, menghargai perbedaan ras, suku, dan agama. Belajar berkomunikasi dengan bahasa yang tidak menyakiti (bahasa Inggris tentunya, atau bahasa mereka). Menghormati budaya atau kebiasaan yang ada di daerah / Negara tersebut.

Bumi Allah itu luaass. Ketika kita traveling, semakin jauh tempat yang kita kunjungi, kita akan mengalami banyak hal berbeda. Kita akan bisa membandingkan di sana bagaimana, di sini bagaimana. Kita ambil hikmahnya, membuat kita lebih banyak bersyukur kepadaNya..

Saturday, August 18, 2018

Cobalah! Kan belum tau hasilnya!

Coba dulu lah!

Ah enggak, aku nggak bisa ini ini ini. 
Aku nggak punya kemampuan ini itu ini. 
Aku nggak memenuhi syarat itu ini.
Aku rasa waktunya nggak cukup buat ngurus berkas.
Aku rasa aku nggak bisa.........................

Hmmm grr gregetan banget kalo aku udah denger kalimat kayak gitu. Masa belum dicoba udah nyerah duluan. Gimana mau tau batas kemampuannya?!

Kita nggak akan pernah tau sampai seberapa batas kemampuan kita sampai kita mencobanya!—quoted by me 😜 (Aku rasa hal ini relevan bagi setiap orang yang pernah mengalaminya).

Aku udah beberapa kali membuktikannya. Cukup 2 kisah aja yang diceritakan, aslinya banyaaak (hehe nggak terlalu banyak juga tapi ada beberapa). 

Pertama waktu aku apply AVVP (ASEAN veterinary student volunteer project 2016) yang diselenggarakan di dua Negara. Salah satu syaratnya yaitu ditujukan buat mahasiswa tingkat akhir (scara, salah satu isi dari program tersebut yaitu ngobatin/nyuntik dan operasi pasien, yang udah pasti mahasiwa tingkat akhir udah dapat materinya). Saat itu aku masih mahasiswa tingkat 2 (semester 4) yang belum tau banyak tentang praktik menangani hewan di lapangan.

Saat itu (pertengahan 2016) ada 2 angkatan di atasku (tingkat 3 dan tingkat 4, karena ada pergantian sistem kuliah dari BLOK ke SKS) yang mengikuti program KKN, yang itu bertepatan dengan tanggal AVVP. Nah, lalu aku mikir, kayaknya nggak ada yang daftar nih. Lalu aku “iseng”—iseng yang dibarengi dengan niat—untuk mencoba daftar program itu. Eh saat hari H dipanggil untuk interview ternyata tetep ada kakak tingkat yang daftar. Ada dua orang kakak tingkat, aku dan 1 teman seangkatan denganku. Kuota untuk program ini untuk 2 orang. Kedua kakak tingkat ini pun yang satu sedang wajib KKN (tapi jadinya menunda KKN) dan satunya sedang wajib koas. Otomatislah mereka yang terpilih—dua kakak tingkat itu—karena ilmu mereka lebih mumpuni—yang itu aku masih butiran debu.
Hiks hiks gagal lagi.

Suatu ketika, aku sedang di rumah, di kampung halaman. Tiba-tiba dosen yang menyeleksi saat itu nge-WA, menawarkan untuk mengganti salah satu kakak tingkat yang kemarin lolos (anak koas)—karena dia tidak dapat izin saat koas. Sebenernya “kesempatan” itu 50:50 untuk aku dan temanku. Tapiii karena aku yang udah punya paspor, Alhamdulillah, jadilah aku yang berangkat! Nggak mungkin juga nunggu temanku membuat paspor karena udah mepet hari H acara dan penyelanggara udah sangat membutuhkan no ID peserta (no paspor) untuk keperluan akomodasi.

Cerita selanjutnya, ini saat aku berencana untuk mengisi waktu luangku menunggu wisuda sarjana. Aku coba semua program—yang aku minati—yang available saat itu (ada sekitar 4 - 5 program), soalnya aku nggak tau program mana nanti yang bakal lolos, jadi Bismillah aja aku coba semua.

Salah satu program yang aku apply yaitu short program di negeri sakura yang itu mensyaratkan untuk freshman dan sophomore—sedangkan aku udah jadi mahasiswa “tua” a.k.a tingkat akhir. Berkebalikan saat aku apply program 2 tahun lalu, ditujukan untuk mahasiswa tingkat akhir sedangkan aku masih sophomore.

Ohya, one more thing. Program ini bertemakan Engineering dan diselenggarakan di Technology University. Well, aku anak kedokteran hewan, masa iya mau daftar? Masa iya berkualifikasi?

Bismillah aja deh kudaftar, siapa tau nggak ada yang daftar kan nanti aku yang lolos wkwk, pikirku begitu. Sebenernya salah satu berkas yang aku kumpulkan juga belum terkualifikasi seperti sertifikat TOEFL, saat itu aku belum menyerahkan yang ori. Berbekal pengalaman “berkali-kali gagal” aku serahkan berkasku mulai dari CV, motivation letter (yang isinya hampir sama dari dulu-dulu cuma diimprove sedikit wkwk), surat keterangan2 dari kampus yang nggak cuma 1 biji, dan lain-lain.

Kuota untuk program ini yaitu 2 orang. Saat H-1 deadline pengumpulan berkas, baru 3 orang yang mendaftar, aku yang ketiga (kami mengisi list pendaftar saat mengumpulkan berkas). The next few days, ada email masuk untuk interview. Aku cukup kaget saat datang interview ternyata hampir 20 orang yang daftar wkwkww (ternyata mereka ngumpulin berkas saat hari H deadline!). Udah deh pasrah aja, Bismillah. Aku saat itu udah ada feeling nggak enak, pasti nggak akan lolos. Saat sesi interview lagi wkwk aku tambah merasa bagaikan butiran debu, mereka keren-keren dan menurutku banyak yang berkualifikasi seperti freshman dan sophomore, anak teknik dan mipa lagi! (Cuma aku anak kedokteran hewan yang daftar). Tapi selain anak saintek, ada juga anak soshum, ilmu budaya, ekonomi, bahkan magister yang daftar!

Udah deh pasrah, udah merasa nggak ada harapan bakal diterima. Daaan aku juga udah menyiapkan berkas yang mau aku submit buat program lainnya (beberapa udah aku submit, beneran deh karena aku nggak ada feeling bakal diterima!)
Sampai suatu ketika ternyata aku dinyatakan lolos (dikasih tau sama teman kenalan saat daftar via chat karena pengumumannya lewat email—emailku tidak kupasang notif di hp). Sampai nangis di perpus karena aku bener-bener nggak percaya…….. *lebay hehe.

Jadi, JANGANLAH TAKUT MENCOBA!

Ah aku nggak punya sertifikat bahasa Inggris. Ah aku skornya belum sampai segitu. Ah pengalamanku belum banyak. Ah aku nggak bisa bikin motivation letter yang bagus. Ah aku nggak PD buat join, ah ah ah yang lain, STOP IT GUYS!

Mana tau kan kalo misal yang apply cuma 1, atau mungkin berkas peserta lain ketlingsut sehingga kamu yang lolos. Atau mungkin skormu mepet tipis-tipis tapi masih “diberi ampun”, atau mungkin skormu jauh dari target tapi ternyata nggak diliat berkasnya sama penyeleksi, atau mungkin ternyata dipilihnya secara random, atau mungkin berkasmu belum lengkap tapi masih ada ekstensi waktu, atau bahkan berkas itu nggak usah dikumpul ternyata sebenernya nggak apa-apa, atau mungkiiin, mungkin yang lainnya, yang NGGAK AKAN PERNAH KAMU DUGA! 

At least kamu udah nyoba dan kamu akan tau seberapa kemampuanmu. Mana ada yang tau rencana yang tepat dari Allah, dan ingat! Rezeki nggak akan tertukar ^_^

Berdasarkan pengalaman pribadi, ada beberapa kunci keberhasilan buat dapatkan apa yang kamu impikan. Apa aja kuncinya? akan aku bahas di next story...