Saturday, September 15, 2018

Kunci Tercapainya Harapan

Kali ini aku mau share berdasarkan pengalaman pribadi (lagi), gimana sih biar mimpi dan harapan kita terwujud? Saat ini, mungkin, aku belum menjadi orang yang “wow” wkwk aku mah apa tuh (Aamiin, semoga suatu saat nanti bisa jadi “wow” yang banyak menebarkan kebermanfaatan). Namun tiada salahnya aku share apa yang pernah aku alami.


1. Berdoa (selalu berdoa di saat sebelum – selama – setelah harapan kita tercapai!)
Tingkatkan intensitas berdoanya! “Doanya disebut” setiap kali selesai sholat, jangan cuma saat sholat tertentu aja tapiii juga setiap sholat. Tingkatkan ibadah-ibadah sunnah (sholat dhuha, sholat malam, apalagi puasa sunnah). Setelah harapan tercapai atau belum, tetep istiqomah yaa.. Masa sih “intens ibadah” kalau ada “maunya aja” hehe… *note to myself too..
Setelah itu juga tetep terus berdoa. Loh kok setelah tercapai kita ‘berdoa’? Kita ucap (doa) rasa syukur kita, sampaikan kepadaNya..

Lebih lengkap lagi tentang Etika Mengetuk Pintu-Nya (dalam memanjatkan harapan kepadaNya) silakan cek postingan Teh Dewi Nur Aisyah (salah satu inspirator fav aku) di link ini


2.  TULIS harapan dan DITEMPEL di dinding kamar! Jangan di buku agenda aja gengs! (ini juga salah termasuk salah satu cara ‘berdoa’)
Well, ini sepele banget TAPI ini hal ini justru sebagai langkah awal “REAL ACT” kita dalam mewujudkan impian kita. Aku hampir selalu menulis harapan apa yang aku inginkan, bahkan kadang sebelum aku ‘mulai gerak’ buat mendapatkan hal itu.


Nggak perlu malu juga atau khawatir kalau teman yang masuk kamar kita lalu membacanya. Malah bisa jadi doa kaan karena dibaca mereka. Apalagi di harapan itu ditambah kata “aamiin”.


Misal, suatu hari keluar poster pengumuman ada program x dan saat aku baca, aku tertarik untuk mengikutinya. Sebelum aku ‘mulai gerak’ buat apply (misal, menyiapkan berkas) aku udah tulis dulu harapanku, aku beri tanggal saat menulis, dan kutempel. Misal lagi, tahun 2020, 2023, 2025, 2030 aku pengen ini ini ini. Yaudah aku tulis aja apa harapanku.


Nulis harapan juga nggak cuma buat yang ‘jauh-jauh’ waktu. Walapun itu mepet ‘waktu’ yang kita inginkan, harus ditulis juga! Misal, hari ini hari H deadline apply suatu x, nah kita kebetulan belum sempet menulis dan hasilnya diumumkan beberapa hari lagi atau bahkan besok! Yaudah tetap tulis aja harapan kita.

Nulis harapan juga nggak cuma buat harapan yang menurut kita itu “wow”. Sesimpel kita pengen join acara x, pengen masuk organisasi itu, pengen selesai tugas/PKL/skripsi bulan (atau bahkan tanggal) sekian, pengen lulus sebelum x atau setelah y, pengen dapet IP/IPK sekian dan ditulis dengan target nilai yang dijabarkan sekian sekian…
Foto berikut menjadi bukti bahwa impian yang aku tulis dan tempel bisa terwujud. Meski nggak semua yang aku tulis terwujud (dan aku menyadari harapan yang belum tercapai ini kadang belum aku lakukan secara all out atau kemungkinannya kecil), TAPI ada banyak hal yang aku merasa itu ‘nggak mungkin’, ternyata Allah bisa ‘mungkin’kan :’)

Bukan bermaksud sombong atau apa, tapi ini sebagai bukti ‘kesaktian’ menulis harapan... 😄








Saat belum terwujud aku sengaja nggak nyopot kertas itu, ternyata terjadi di tahun 2017 dan 2018.
Bahkan saat aku menulis di MEI 2016 aku nggak menyangka kalau bisa internship di sana 2 kali!


Harapan se-"sepele" gini tetep ditulis gengs :')

IP Semester 6: 3,54; Semester 7: 3,92; Semester 8: 3,93
Ini aku tulis di minggu2 awal kuliah semester 6. Saat hasil semester 6 keluar, ternyata belum mencapai target. TAPI Allah kasih LEBIH di semester 7 dan 8 :')





Kucoret hitam karena waktu itu sempat "gagal" namun pada akhirnya aku menjadi "terpilih" :') (kucentang hijau)

Saat 2016 berakhir, aku nggak nyopot kertas itu dari dinding.
Siapa yang menyangka, ternyata Allah kasih di 2018, karena IA memberi di saat yang TEPAT :') 

3. 
Minta doa restu orang tua, terutama Ibu. Menurutku ini adalah bagian yang sangat PENTING. Aku selalu cerita dan mohon doa setiap kali aku mau melakukan sesuatu, mau memproses sesuatu, mau apply sesuatu...

Cerita ke beliau juga di ‘awal’ yahh (usahakan sebelum kita memulai sesuatu itu). Jangan berpikir, ah nggak mau cerita dulu, nanti takut nggak jadi, ah orang tuaku bukan tipe-tipe yang suka diceritain, ah orang tuaku tipenya nggak peduli sama yang dilakukan anaknya, ah ah ah yang lain. Jangan! Siapa yang tau ketika kita telah bercerita, orang tua kita senantiasa menyelipkan doa untuk kita, senantiasa “nge-batin” buat selalu minta keselamatan, kelancaran untuk anaknya, bahkan beliau lakukan setiap saat. Minta doanya juga nggak cuma buat buat harapan yang menurut kita itu “wow”, seperti yang aku contohkan di poin nomor 2.

4. Visualisasikan impian kita (ini juga salah termasuk salah satu cara ‘berdoa’).
Misalnya, dengan menempel "foto" atau "gambar" harapan kita. Punya impian naik haji, boleh lah kita tempel gambar Ka'bah, sambil di-shalawatin gengs. Pengen punya gadget x, atau kendaraan x, boleh lah kita datangi counter/showroomnya sambil di-shalawatin, atau foto juga. Nggak perlu malu atau ragu kalau merasa awkward di depan orang lain. Emang mereka yang mau "mengabulkan" impian kita? 

Contoh lagi, saat aku ingin lulus dengan IPK cumlaude, aku pinjam slempang itu dari kakak tingkat lalu aku berfoto dengannya. Aku berharap supaya ketularan apa yang diraih oleh kakak tingkatku. Padahal saat itu aku merasa "SULIT" untuk meraihnya.

Ini juga menjadi salah satu REAL ACT dalam mewujudkan impian kita.

5.  Usaha (bener-bener diusahakan!, sampai titik darah penghabisan). Tentu saja usaha secara jujur yaa… Andaikata pahit-pahitnya kita nggak bisa melakukan secara all out, berdoalah, minta sama Yang Maha Kuasa. But remember, hasil tiada pernah mengkhianati usaha. Gagal berkali-kali justru membuat kita semakin belajar. Nggak boleh nyerah!
Kita pun harus merelakan waktu ‘me time’ kita yang kurang berfaedah. Boleh lah buat melepas penat, namun jangan sampai keblablasan.

Semoga bermanfaat ^_^

Friday, September 7, 2018

Ketinggalan Pesawat!?


Ini cerita perjalananku saat mau ke sebuah kota kecil di negara yang terkenal akan sakura-nya. Kota yang sebelumnya belum pernah aku dengar. Berbeda seperti Tokyo, Osaka, Sapporo, dan Fukuoka yang sering kita dengar. Kota yang membuat aku jatuh cinta sejak pandangan pertama. Saat pertama aku menginjakkan kaki di kota itu, adem rasanya melihat di sekeliling banyak pepohonan, pegunungan, jauh dari hiruk pikuk keramaian, meski saat itu cuaca sangaaat panas karena sedang summer.

Tempat itu bernama Kochi. Yap, Kochi Prefecture. Mungkin di Jepang, istilah “prefecture” itu semacam provinsi... Sebenarnya saat pertama menginjakkan kaki bukan di Kochi City, tapi di Nankoku City, tempat di mana Kochi Ryoma Airport berada. Ini bukan bandara internasional sehingga saat dari Indonesia aku tidak langsung ke sini melainkan ke Tokyo (Haneda Airport) dahulu, yang ada imigrasinya.

Foto Kochi Ryoma Airport



Aku pun berangkat dari Jogja. Jadi aku perlu 3 penerbangan untuk sampai ke Kochi. Dari Jogja – Jakarta, Jakarta – Tokyo, Tokyo – Kochi. Aku menggunakan pesawat ANA (All Nippon Airways). Saat dari Jogja tidak ada pesawat ANA sehingga connecting flight yang ada yaitu dengan Garuda Indonesia. Alasan kenapa aku naik ANA, karena memang tinggal “manut” saja—udah dibeliin. Berapa harga tiketnya? Hehe. Kalau nggak salah, di booking information tiket Jogja-Kochi PP sekitar hampir JPY 125.000 (silakan dirupiahkan sendiri). Maskapai ini menyediakan bagasi 2 x 23 kg, sangat lebih dari cukup! Bahkan termasuk dari yang Jogja ke Jakarta (menggunakan Garuda). Enaknya connecting flight itu nggak perlu repot-repot mindahin bagasi. Saat dari Jogja sampai di Jakarta untuk lanjut ke Tokyo, aku nggak perlu mindah bagasi. Tapiii, tetep aku harus mindahin bagasi saat sampai di Tokyo untuk meneruskan ke Kochi untuk keperluan custom di imigrasi (kali aja aku bawa barang yang aneh-aneh dari Indonesia untuk diselundupkan ke Jepang wkwk, nggak lah).

Flight dari Jogja ke Jakarta hingga Tokyo aman-aman saja. Nggak ada delay atau apa, dan sampai di sana tepat waktu. Perjalanan ke Tokyo dari Jakarta sekitar tujuh setengah jam. Waktu transit di Tokyo sekitar 4 jam. Aku tiba di Tokyo pukul 6.50 pagi, flight selanjutnya ke Kochi pukul 11.25.

Sembari menunggu waktu transit aku sudah berencana untuk bertemu temanku, orang Jepang yang sudah kukenal sejak 2 tahun lalu. Sebut saja namanya Ayana. Saat itu aku baru bertemu dia pukul 8.00 karena kereta yang dia naiki untuk menuju bandara ada masalah. Dia berencana mengajakku ke salah satu tempat yang cukup terkenal yaitu Asakusa.

Nah, salah satu hal penting yang diperlukan di LN yaitu simcard untuk internet. Sebelum ke Asakusa, aku meminta Ayana untuk membantuku membeli simcard, sebagai penerjemah, hehe. Saat mampir di toko-toko dalam bandara, hanya sedikit toko yang menyediakan simcard dan itu pun mahal-mahaal (bagiku) :( akhirnya kami memutuskan untuk beli yang ‘paling murah’. Hampir 300rb untuk 1,5 GB aja… Nah, pegawai di toko itu tidak menyedikan jasa ‘masang/nge-setting simcard’. Kami harus ‘masang’ sendiri. Sudah beberapa kali di coba di hpku, nggak bisa-bisa, Ayana pun nggak tau cara settingnya. Rupanya di Jepang, simcard untuk orang lokal sedikit berbeda. Bukan kayak yang lepas-pasang gonta-ganti kartu, jadi dia ikut bingung untuk ngesetting simcardku (simcard untuk turis asing). Akhirnya simcardku kucoba di hp temanku (aku berdua bersama temanku ke Jepang). Untung waktu itu memang sengaja beli 1 dulu buat trial and error. Akhirnya simcard itu bisa tersetting di hp temanku. Hp kami berdua beda brand dan opsi setting di hpku nampak beda dengan hp temanku, hal ini yang membuatku bingung.

Tinggal hpku aja nih yang masih perlu simcard. Kenapa kok nggak beli di Kochi aja? Soalnya, di Kochi bukan tempat yang sepopuler kota lain untuk turis asing, jadi khawatir kalau nggak bisa dapat simcard di sana. Waktu menunjukkan pukul 9.00, sudah sejam kami ‘riweuh’ sendiri untuk masang simcard. Ayana bingung, mau jadi ke Asakusa atau nggak. Waktu transit semakin terbatas. Dia pun nggak yakin kalau di Asakusa bisa menemukan simcard yang cocok. Akhirnya kami memutuskan untuk ikut Ayana, ia search google maps di mana toko gadget terdekat. Ayana belum familiar daerah sekitar Haneda Airport karena dia jarang bepergian di sekitar situ.

Kami naik kereta, jalan kaki cukup jauh untuk sampai di toko itu. Saat di toko, simcard yang kami temukan ternyata sama saja seperti yang ada di bandara. Dengan kuota dan harga yang sama! Namun bedanya, di sini ada staff yang bisa membantu masang simcard. Waktu menunjukkan pukul 10 lebih. Flight selanjutnya pukul 11.25 dan kami harus boarding mulai pukul 11.00.

Fix, kami nggak jadi ke Asakusa. Kami masih punya cukup waktu untuk kembali ke bandara penerbangan domestik tepat waktu. Kami lari-lari untuk mencapai stasiun kembali, untuk ke bandara. Waktu sudah pukul 10.30 lebih. Kami ketar-ketir apakah flight selanjutnya bisa terkejar.

Dag dig dug… Dag dig dug…

Dan ternyata kami SALAH NAIK KERETA! Kami naik kereta ke arah lawan menuju bandara. Waduh :(( Fix ini bakal ketinggalan pesawat karena harus putar balik arah, berhenti di stasiun dan nunggu kereta lagi. Ayana meminta maaf karena dia nggak tau kalau tadi kereta arah lawan. Aku nggak bisa menyalahkan dia karena aku pun juga nggak ngerti apa-apa. Aku meminta dia untuk menghubungi bandara agar menyediakan buggy untuk aku dan temanku menuju ke gate. Ternyata hasilnya Nol. Nggak ada informasi tentang ketersediaan buggy.

Akhirnya sampai di security check bandara pukul 11.05 atau 11.10 (aku lupa, saking hecticnyaaa). Nggak sempat lagi berfoto dengan Ayana. Hanya ucapan “hati-hati” dan “perpisahan”. Aku meminta petugas untuk barang-barangku dicek duluan tetapi mereka tetap mengecek menurut antrian. Jepang tetaplah Jepang, mau ketinggalan pesawat atau enggak tetep harus antri. Untungnya bagasi-bagasi sudah dicheck in sebelum kami mencari simcard.

Saat liat denah gate yang ada, gate kami terletak hampir di ujung! Aku lari-lari sambil teriak “Excuse meee, it’s my last call” supaya orang-orang mau minggir memberiku jalan, sampai mau pingsan rasanya! Cari buggy juga nggak ada! Sedih banget :(( Ini kok nggak sampai sampai ke gate-nya. Dari tadi sekian puluh meter lagi, sekian ratus meter lagi. Aku udah pasrah seandainya ketinggalan pesawat. Sepanjang jalan, dari saat di kereta aku udah ‘pasrah’ apapun yang terjadi nanti. Aku hanya bisa berdoa, ya Allah, berilah yang terbaik, bila memang ini belum rezeki (ketinggalan pesawat) maka kuatkan aku, permudah mencari tiket lain. Di sepanjang jalan dan lari-lari, aku memikirkan plan A sampai Z apabila nanti ketinggalan. Sekian menit yang singkat itu, aku pun hanya bisa berdoa dan berdzikir, hanya meminta pertolongan-Nya. Sedikit berharap pesawat di-delay atau apapun biar nggak ketinggalan. Akhirnya aku sampai di depan gate pesawat-ku. Aku udah mikir kalau ‘belalai’ untuk menuju dalam pesawat (apasih namanya, aku sebut itu belalai wkwk) udah nggak tersedia karena pesawat udah menjauh dari gate dan persiapan untuk take off. Ternyata pesawat masih ‘menunggu’ kami, Alhamdulillah! Sampai di depan gate tepat pukul 11.20 yang itu artinya pukul 11.25 gate closed! Aku sampai di gate 5 menit sebelum gate closed! Aku masuk ke pesawat dengan kondisi lemas, keringetan, suara udah mau hilang.

Dihitung-hitung sepertinya jarak dari security check ke gate sekitar 1 kilometer atau lebih. Jarak sejauh itu aku tempuh dengan berlari 10-15 menit. Pantas aja bikin mau pingsan :((

Hikmah dari kejadian ini yaitu, selimit apapun waktu, ketika mengalami kesusahan, ingat Allah. Walaupun kesannya ‘sepele’ untuk berdoa/minta sama Allah tapi kepada siapa lagi meminta pertolongan, apalagi itu masalah ‘waktu’, yang manusia nggak bisa mengubahnya, selain meminta pertolongan kepada Allah. Alhamdulillah, Allah masih sayang kepada kami… Kami masih bisa meneruskan perjalan ke Kochi dengan selamat :’)