Ini cerita perjalananku saat mau ke sebuah kota kecil di negara yang terkenal akan sakura-nya. Kota
yang sebelumnya belum pernah aku dengar. Berbeda seperti Tokyo, Osaka, Sapporo,
dan Fukuoka yang sering kita dengar. Kota yang membuat aku jatuh cinta sejak
pandangan pertama. Saat pertama aku menginjakkan kaki di kota itu, adem rasanya
melihat di sekeliling banyak pepohonan, pegunungan, jauh dari hiruk pikuk
keramaian, meski saat itu cuaca sangaaat panas karena sedang summer.
Tempat itu bernama Kochi. Yap, Kochi Prefecture. Mungkin di Jepang,
istilah “prefecture” itu semacam provinsi... Sebenarnya saat pertama
menginjakkan kaki bukan di Kochi City, tapi di Nankoku City, tempat di mana
Kochi Ryoma Airport berada. Ini bukan bandara internasional sehingga saat dari
Indonesia aku tidak langsung ke sini melainkan ke Tokyo (Haneda Airport)
dahulu, yang ada imigrasinya.
Foto Kochi Ryoma Airport
Aku pun berangkat dari Jogja. Jadi aku perlu 3 penerbangan untuk
sampai ke Kochi. Dari Jogja – Jakarta, Jakarta – Tokyo, Tokyo – Kochi. Aku
menggunakan pesawat ANA (All Nippon Airways). Saat dari Jogja tidak ada pesawat
ANA sehingga connecting flight yang ada yaitu dengan Garuda Indonesia. Alasan kenapa aku naik ANA, karena memang tinggal “manut”
saja—udah dibeliin. Berapa harga tiketnya? Hehe. Kalau nggak salah, di booking information tiket Jogja-Kochi
PP sekitar hampir JPY 125.000 (silakan dirupiahkan sendiri). Maskapai ini
menyediakan bagasi 2 x 23 kg, sangat lebih dari cukup! Bahkan termasuk dari
yang Jogja ke Jakarta (menggunakan Garuda). Enaknya connecting flight itu nggak
perlu repot-repot mindahin bagasi. Saat dari Jogja sampai di Jakarta untuk
lanjut ke Tokyo, aku nggak perlu mindah bagasi. Tapiii, tetep aku harus
mindahin bagasi saat sampai di Tokyo untuk meneruskan ke Kochi untuk keperluan custom di imigrasi (kali aja aku bawa
barang yang aneh-aneh dari Indonesia untuk diselundupkan ke Jepang wkwk, nggak
lah).
Flight dari Jogja ke Jakarta hingga Tokyo aman-aman saja. Nggak ada
delay atau apa, dan sampai di sana tepat waktu. Perjalanan ke Tokyo dari
Jakarta sekitar tujuh setengah jam. Waktu transit di Tokyo sekitar 4 jam. Aku
tiba di Tokyo pukul 6.50 pagi, flight selanjutnya ke Kochi pukul 11.25.
Sembari menunggu waktu transit aku sudah berencana untuk bertemu
temanku, orang Jepang yang sudah kukenal sejak 2 tahun lalu. Sebut saja namanya
Ayana. Saat itu aku baru bertemu dia pukul 8.00 karena kereta yang dia naiki
untuk menuju bandara ada masalah. Dia berencana mengajakku ke salah satu tempat
yang cukup terkenal yaitu Asakusa.
Nah, salah satu hal penting yang diperlukan di LN yaitu simcard untuk
internet. Sebelum ke Asakusa, aku meminta Ayana untuk membantuku membeli
simcard, sebagai penerjemah, hehe. Saat mampir di toko-toko dalam bandara,
hanya sedikit toko yang menyediakan simcard dan itu pun mahal-mahaal
(bagiku) :( akhirnya kami memutuskan untuk beli yang ‘paling murah’. Hampir
300rb untuk 1,5 GB aja… Nah, pegawai di toko itu tidak menyedikan jasa
‘masang/nge-setting simcard’. Kami harus ‘masang’ sendiri. Sudah beberapa kali
di coba di hpku, nggak bisa-bisa, Ayana pun nggak tau cara settingnya. Rupanya di
Jepang, simcard untuk orang lokal sedikit berbeda. Bukan kayak yang
lepas-pasang gonta-ganti kartu, jadi dia ikut bingung untuk ngesetting
simcardku (simcard untuk turis asing). Akhirnya simcardku kucoba di hp temanku
(aku berdua bersama temanku ke Jepang). Untung waktu itu memang sengaja beli 1
dulu buat trial and error. Akhirnya
simcard itu bisa tersetting di hp temanku. Hp kami berdua beda brand dan opsi
setting di hpku nampak beda dengan hp temanku, hal ini yang membuatku bingung.
Tinggal hpku aja nih yang masih perlu simcard. Kenapa kok nggak beli
di Kochi aja? Soalnya, di Kochi bukan tempat yang sepopuler kota lain untuk
turis asing, jadi khawatir kalau nggak bisa dapat simcard di sana. Waktu
menunjukkan pukul 9.00, sudah sejam kami ‘riweuh’ sendiri untuk masang simcard.
Ayana bingung, mau jadi ke Asakusa atau nggak. Waktu transit semakin terbatas. Dia
pun nggak yakin kalau di Asakusa bisa menemukan simcard yang cocok. Akhirnya
kami memutuskan untuk ikut Ayana, ia search google maps di mana toko gadget
terdekat. Ayana belum familiar daerah sekitar Haneda Airport karena dia jarang
bepergian di sekitar situ.
Kami naik kereta, jalan kaki cukup jauh untuk sampai di toko itu. Saat
di toko, simcard yang kami temukan ternyata sama saja seperti yang ada di
bandara. Dengan kuota dan harga yang sama! Namun bedanya, di sini ada staff
yang bisa membantu masang simcard. Waktu menunjukkan pukul 10 lebih. Flight
selanjutnya pukul 11.25 dan kami harus boarding mulai pukul 11.00.
Fix, kami nggak jadi ke Asakusa. Kami masih punya cukup waktu untuk
kembali ke bandara penerbangan domestik tepat waktu. Kami lari-lari untuk
mencapai stasiun kembali, untuk ke bandara. Waktu sudah pukul 10.30 lebih. Kami
ketar-ketir apakah flight selanjutnya bisa terkejar.
Dag dig dug… Dag dig dug…
Dan ternyata kami SALAH NAIK KERETA! Kami naik kereta ke arah lawan
menuju bandara. Waduh :(( Fix ini bakal ketinggalan pesawat karena harus putar
balik arah, berhenti di stasiun dan nunggu kereta lagi. Ayana meminta maaf
karena dia nggak tau kalau tadi kereta arah lawan. Aku nggak bisa menyalahkan
dia karena aku pun juga nggak ngerti apa-apa. Aku meminta dia untuk menghubungi
bandara agar menyediakan buggy untuk
aku dan temanku menuju ke gate. Ternyata
hasilnya Nol. Nggak ada informasi tentang ketersediaan buggy.
Akhirnya sampai di security check bandara pukul 11.05 atau 11.10 (aku
lupa, saking hecticnyaaa). Nggak sempat lagi berfoto dengan Ayana. Hanya ucapan
“hati-hati” dan “perpisahan”. Aku meminta petugas untuk barang-barangku dicek
duluan tetapi mereka tetap mengecek menurut antrian. Jepang tetaplah Jepang,
mau ketinggalan pesawat atau enggak tetep harus antri. Untungnya bagasi-bagasi
sudah dicheck in sebelum kami mencari
simcard.
Saat liat denah gate yang
ada, gate kami terletak hampir di ujung!
Aku lari-lari sambil teriak “Excuse
meee, it’s my last call” supaya orang-orang mau minggir memberiku jalan,
sampai mau pingsan rasanya! Cari buggy juga nggak ada! Sedih banget :(( Ini kok
nggak sampai sampai ke gate-nya. Dari tadi sekian puluh meter lagi, sekian
ratus meter lagi. Aku udah pasrah
seandainya ketinggalan pesawat. Sepanjang jalan, dari saat di kereta aku udah
‘pasrah’ apapun yang terjadi nanti. Aku hanya bisa berdoa, ya Allah, berilah yang terbaik, bila memang ini belum rezeki
(ketinggalan pesawat) maka kuatkan aku, permudah mencari tiket lain. Di
sepanjang jalan dan lari-lari, aku memikirkan plan A sampai Z apabila nanti
ketinggalan. Sekian menit yang singkat itu, aku pun hanya bisa berdoa dan
berdzikir, hanya meminta pertolongan-Nya. Sedikit berharap pesawat di-delay
atau apapun biar nggak ketinggalan. Akhirnya aku sampai di depan gate
pesawat-ku. Aku udah mikir kalau ‘belalai’ untuk menuju dalam pesawat (apasih
namanya, aku sebut itu belalai wkwk) udah nggak tersedia karena pesawat udah
menjauh dari gate dan persiapan untuk take off. Ternyata pesawat masih
‘menunggu’ kami, Alhamdulillah! Sampai di depan gate tepat pukul 11.20 yang itu
artinya pukul 11.25 gate closed! Aku
sampai di gate 5 menit sebelum gate closed! Aku masuk ke pesawat dengan kondisi
lemas, keringetan, suara udah mau hilang.
Dihitung-hitung sepertinya jarak dari security check ke gate sekitar 1
kilometer atau lebih. Jarak sejauh itu aku tempuh dengan berlari 10-15 menit.
Pantas aja bikin mau pingsan :((
Hikmah dari kejadian ini yaitu, selimit apapun waktu, ketika mengalami
kesusahan, ingat Allah. Walaupun kesannya ‘sepele’ untuk berdoa/minta sama
Allah tapi kepada siapa lagi meminta
pertolongan, apalagi itu masalah ‘waktu’, yang manusia nggak bisa mengubahnya,
selain meminta pertolongan kepada Allah. Alhamdulillah, Allah masih sayang
kepada kami… Kami masih bisa meneruskan perjalan ke Kochi dengan selamat :’)
No comments:
Post a Comment