Sunday, November 4, 2018

Diari anak koas FKH #2 - Dilema



Dua minggu sudah aku ada di field work stase inbes (interna hewan besar) yang berarti akan memasuki minggu ke-6 stase ini.

Dalam dua minggu ini cukup banyak kasus yang aku temui di hewan ternak. Mulai dari demam (BEF suspected), myasis, distokia, diare encer banget kayak air, hewan menunjukkan gejala pincang, ndeprok dalam waktu lama, cacingan, abses, scabies, dan lain-lain.

Ada satu hal menarik yang cukup membuatku kaget saat ikut visit pasien-pasien bersama dokter. Aku mengikuti dokter yang menerima panggilan/telepon dari peternak bila ternaknya ada yang sakit. Kami keliling naik motor. Namanya juga hewan besar, jadi nggak mungkin si pasien yang datang ke kita, tapi kita yang datang ke pasien. Ada sih satu dua peternak yang mau membawa ternaknya ke kita, naik mobil pick-up, tapi itu jarang.

Intro dulu yaa... Aku mendapat tugas koas di Gunungkidul. Gambaran daerah itu seperti dataran tinggi, yang kalau semakin masuk ke desa, semakin sulit akses jalannya, naik turun, kadang nggak ada aspal, dipenuhi tanah kering dan bebatuan. Saat ini masih kemarau, so area di sekitar sini sangat kering. Mungkin kalau musim hujan, akses jalan akan semakin menantang karena licin dan becek.

Kebanyakan ternak yang ada, dikandangkan di samping atau dekat rumah peternak, bahkan ada yang di “alas” (tempat yang jauh dari rumah, di dataran tinggi, biasanya terjal, seperti di tengah hutan).
Apa sih hal yang membuatku “kaget”. Saat peternak menanyakan berapa biaya-nya, setelah selesai diperiksa. Deg! Kok segitu ya tarifnya. Wew, mahal yaa—aku membayangkan karena peternak di desa-desa biasanya bukan orang yang cukup mampu, kalau dipikir-pikir “segitu” itu cukup mahal bagi peternak :( Di hewan pun nggak ada BPJS ya gengs! Jangan dibandingkan dengan manusia yang dengan adanya BPJS bisa meng-cover biaya berobat.

Well, terus aku mikir lagi sih. Kok bisa tarifnya segitu. Antara tega dan nggak tega. Aku mikir juga, namanya pengobatan pasti butuh obat. Menyediakan obat juga pakai uang. Tau kan, kalau di hewan besar, jumlah obat yang diberikan pasti sangat banyak karena berat badan yang besar (menyesuaikan dosis obat). Untuk obat injeksi, sangat sering memberi jumlah obat di atas 10 ml. Kalau narik biaya “murah” kapan balik modalnya dong, nanti kami makan apaa.. Padahal “mahal” di sini pun nggak sebanding dengan biaya yang biasanya berlaku untuk pengobatan hewan kecil.

Bandingkan bila dengan di hewan kecil, “jumlah” obat yang diberikan sedikit, bisa cuma 0 koma sekian ml tapi tarif hingga ratusan ribu nggak masalah (biasanya owner pet animal orang yang mampu—mereka rela mengeluarkan kocek besar demi hewan kesayangannya!).

Aku menjadi lebih ‘ngeh’, jadi, ada plus minusnya saat praktik di hewan besar dan hewan kecil. Kalau di hewan besar, “hanya” perlu modal sedikit sudah bisa praktik ("nggak perlu" tempat praktik, alat-alat diagnosa yang lengkap, dll) namun diperlukan penggunaan jumlah obat yang banyak.

Sedangkan di hewan kecil, memberi obat dengan “jumlah” sedikit, sudah mendapat tarif besar, TAPI… kalau mau membuka klinik itu perlu yang namanya “tempat” alias rumah, alat-alat pendukung seperti alat untuk diagnosa yang biasanya harganya selangit. Mungkin perlu waktu 1 tahun hingga bertahun-tahun untuk mencapai BEP (break event point) a.k.a balik modal.

Jadi, tertarik praktik di hewan besar atau di hewan kecil? Bidang pekerjaan dokter hewan nggak cuma ini ya gengs, masih banyak bidang lain seperti poultry, food safety & hygiene, kedinasan, karantina, penelitian, dan lainnya.

No comments:

Post a Comment