Sunday, November 4, 2018

Diari anak koas FKH #2 - Dilema



Dua minggu sudah aku ada di field work stase inbes (interna hewan besar) yang berarti akan memasuki minggu ke-6 stase ini.

Dalam dua minggu ini cukup banyak kasus yang aku temui di hewan ternak. Mulai dari demam (BEF suspected), myasis, distokia, diare encer banget kayak air, hewan menunjukkan gejala pincang, ndeprok dalam waktu lama, cacingan, abses, scabies, dan lain-lain.

Ada satu hal menarik yang cukup membuatku kaget saat ikut visit pasien-pasien bersama dokter. Aku mengikuti dokter yang menerima panggilan/telepon dari peternak bila ternaknya ada yang sakit. Kami keliling naik motor. Namanya juga hewan besar, jadi nggak mungkin si pasien yang datang ke kita, tapi kita yang datang ke pasien. Ada sih satu dua peternak yang mau membawa ternaknya ke kita, naik mobil pick-up, tapi itu jarang.

Intro dulu yaa... Aku mendapat tugas koas di Gunungkidul. Gambaran daerah itu seperti dataran tinggi, yang kalau semakin masuk ke desa, semakin sulit akses jalannya, naik turun, kadang nggak ada aspal, dipenuhi tanah kering dan bebatuan. Saat ini masih kemarau, so area di sekitar sini sangat kering. Mungkin kalau musim hujan, akses jalan akan semakin menantang karena licin dan becek.

Kebanyakan ternak yang ada, dikandangkan di samping atau dekat rumah peternak, bahkan ada yang di “alas” (tempat yang jauh dari rumah, di dataran tinggi, biasanya terjal, seperti di tengah hutan).
Apa sih hal yang membuatku “kaget”. Saat peternak menanyakan berapa biaya-nya, setelah selesai diperiksa. Deg! Kok segitu ya tarifnya. Wew, mahal yaa—aku membayangkan karena peternak di desa-desa biasanya bukan orang yang cukup mampu, kalau dipikir-pikir “segitu” itu cukup mahal bagi peternak :( Di hewan pun nggak ada BPJS ya gengs! Jangan dibandingkan dengan manusia yang dengan adanya BPJS bisa meng-cover biaya berobat.

Well, terus aku mikir lagi sih. Kok bisa tarifnya segitu. Antara tega dan nggak tega. Aku mikir juga, namanya pengobatan pasti butuh obat. Menyediakan obat juga pakai uang. Tau kan, kalau di hewan besar, jumlah obat yang diberikan pasti sangat banyak karena berat badan yang besar (menyesuaikan dosis obat). Untuk obat injeksi, sangat sering memberi jumlah obat di atas 10 ml. Kalau narik biaya “murah” kapan balik modalnya dong, nanti kami makan apaa.. Padahal “mahal” di sini pun nggak sebanding dengan biaya yang biasanya berlaku untuk pengobatan hewan kecil.

Bandingkan bila dengan di hewan kecil, “jumlah” obat yang diberikan sedikit, bisa cuma 0 koma sekian ml tapi tarif hingga ratusan ribu nggak masalah (biasanya owner pet animal orang yang mampu—mereka rela mengeluarkan kocek besar demi hewan kesayangannya!).

Aku menjadi lebih ‘ngeh’, jadi, ada plus minusnya saat praktik di hewan besar dan hewan kecil. Kalau di hewan besar, “hanya” perlu modal sedikit sudah bisa praktik ("nggak perlu" tempat praktik, alat-alat diagnosa yang lengkap, dll) namun diperlukan penggunaan jumlah obat yang banyak.

Sedangkan di hewan kecil, memberi obat dengan “jumlah” sedikit, sudah mendapat tarif besar, TAPI… kalau mau membuka klinik itu perlu yang namanya “tempat” alias rumah, alat-alat pendukung seperti alat untuk diagnosa yang biasanya harganya selangit. Mungkin perlu waktu 1 tahun hingga bertahun-tahun untuk mencapai BEP (break event point) a.k.a balik modal.

Jadi, tertarik praktik di hewan besar atau di hewan kecil? Bidang pekerjaan dokter hewan nggak cuma ini ya gengs, masih banyak bidang lain seperti poultry, food safety & hygiene, kedinasan, karantina, penelitian, dan lainnya.

Sunday, October 14, 2018

Diari anak koas FKH #1 – Stase tergabut?

Coass – The real life of veterinary student

Setelah lulus sarjana kedokteran hewan, aku pernah beberapa kali ditanya “Wah udah mau koas ya, koasnya di mana?” Kadang bingung jawabnya. Biasanya aku jawab “Tergantung stasenya.”
trus ditanya lagi, “Emang koasnya praktek di rumah sakit gitu juga (kayak anak FK)?”
Hehehee

Jadi begini pemirsa...

Koas di FKH ada beberapa stase. Mungkin tiap universitas berbeda-beda dan berbeda juga waktu tempuhnya. Kalau di FKH universitas-ku, ada 6 stase. Tiap stase sekitar 8 minggu dan ada break antarstase selama 1 minggu. Jadi, kira-kira kalau ditotal, diperlukan waktu tempuh hampir 1,5 tahun (3 semester). Apa saja stasenya?

1)      Koasistensi diagnosa laboratorik
2)      Koasistensi reproduksi dan kebidanan
3)      Koasistensi interna hewan besar
4)      Koasistensi interna hewan kecil
5)      Koasistensi bedah dan radiologi
6)      Koasistensi administrasi dinas dan kesejahteraan masyarakat veteriner

Kali ini aku masuk di stase interna hewan besar (disingkat inbes), yang katanya stase tergabut. Emang beneran gabut banget? Well, ternyata setelah aku masuk ini, hmm emang gabut sih wkwk. Eh tapi tunggu dulu. Mungkin saat koas inbes minggu ke-1 masih ‘terkesan gabut’ karena masih dalam proses mengurus administrasi. TAPI semua itu tergantung dari individu masing-masing. Kalau waktu diisi hal dengan yang berfaedah ya tentu saja ‘nggak gabut’. 

Memang, pesan dari salah seorang dosen saat pembekalan yaitu “Walaupun belum ada tugas, paling tidak waktu dimanfaatkan untuk mereview materi yang pernah diberikan, mencari referensi (baik tulisan maupun video), mencari jurnal, dll”.

Memasuki minggu ke-2, yaitu part UP2KH (tugasnya memeriksa hewan yang ada di kandang kampus FKH). Yang katanya ‘bisa pulang awal’, yang mungkin pemeriksaannya hanya dilakukan di 1 hari saja dalam 1 minggu itu, lalu setelahnya ‘gabut’. 

Justru menurut aku hal ini harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Part ini ditujukan untuk ‘latihan’ menghadapi kegiatan di lapangan nanti (yang akan dijalani pada beberapa minggu selanjutnya). Walaupun, memang, pemeriksaan bisa dilakukan 1 hari saja. Akan tetapi, beberapa hari yang ada sangatlah sayang jika tidak dimanfaatkan. Periksa terus saja setiap hari, karena semakin sering mencoba, maka akan semakin terlatih. Semakin sering berinteraksi dengan hewan, maka akan semakin mudah untuk bisa memeriksanya. Nggak mudah lho, untuk bisa mengerti, tau, paham, atau mudeng, misalnya, suara lub-dub jantung normal, merestrain, merasakan pulsus di ekor, dan lain-lain kalau nggak kebiasaan, tentunya akan kaget saat di lapangan nanti—padahal udah sarjana, cuy!—a.k.a dokter hewan muda!

Selain itu, nggak hanya latihan meriksa saja, tetapi juga latihan menganalisis. Kita bisa berlatih mengambil darah, kemudian kita analisis (profil darahnya) sendiri secara manual! Manual ya gengs, nggak pakai alat atau mesin yang bisa menghitung secara otomatis dan cepat. Kita cek jumlah eritrosit, leukosit, kadar Hb, total protein, dsb. Hal-hal yang teknis seperti ini juga perlu banyak latihan. Nggak cukup hanya dengan membaca teori dan hanya berlatih sekali dua kali saja! Setelah hasil analisis darah keluar, dibandingan dengan literatur.

Setelah part UP2KH, di minggu selanjutnya, berganti part lagi, di tempat yang berbeda.

Jadi, siapa bilang ini stase gabut? Semua itu tergantung individu masing-masing, tinggal mau gerak atau enggak?



Saturday, September 15, 2018

Kunci Tercapainya Harapan

Kali ini aku mau share berdasarkan pengalaman pribadi (lagi), gimana sih biar mimpi dan harapan kita terwujud? Saat ini, mungkin, aku belum menjadi orang yang “wow” wkwk aku mah apa tuh (Aamiin, semoga suatu saat nanti bisa jadi “wow” yang banyak menebarkan kebermanfaatan). Namun tiada salahnya aku share apa yang pernah aku alami.


1. Berdoa (selalu berdoa di saat sebelum – selama – setelah harapan kita tercapai!)
Tingkatkan intensitas berdoanya! “Doanya disebut” setiap kali selesai sholat, jangan cuma saat sholat tertentu aja tapiii juga setiap sholat. Tingkatkan ibadah-ibadah sunnah (sholat dhuha, sholat malam, apalagi puasa sunnah). Setelah harapan tercapai atau belum, tetep istiqomah yaa.. Masa sih “intens ibadah” kalau ada “maunya aja” hehe… *note to myself too..
Setelah itu juga tetep terus berdoa. Loh kok setelah tercapai kita ‘berdoa’? Kita ucap (doa) rasa syukur kita, sampaikan kepadaNya..

Lebih lengkap lagi tentang Etika Mengetuk Pintu-Nya (dalam memanjatkan harapan kepadaNya) silakan cek postingan Teh Dewi Nur Aisyah (salah satu inspirator fav aku) di link ini


2.  TULIS harapan dan DITEMPEL di dinding kamar! Jangan di buku agenda aja gengs! (ini juga salah termasuk salah satu cara ‘berdoa’)
Well, ini sepele banget TAPI ini hal ini justru sebagai langkah awal “REAL ACT” kita dalam mewujudkan impian kita. Aku hampir selalu menulis harapan apa yang aku inginkan, bahkan kadang sebelum aku ‘mulai gerak’ buat mendapatkan hal itu.


Nggak perlu malu juga atau khawatir kalau teman yang masuk kamar kita lalu membacanya. Malah bisa jadi doa kaan karena dibaca mereka. Apalagi di harapan itu ditambah kata “aamiin”.


Misal, suatu hari keluar poster pengumuman ada program x dan saat aku baca, aku tertarik untuk mengikutinya. Sebelum aku ‘mulai gerak’ buat apply (misal, menyiapkan berkas) aku udah tulis dulu harapanku, aku beri tanggal saat menulis, dan kutempel. Misal lagi, tahun 2020, 2023, 2025, 2030 aku pengen ini ini ini. Yaudah aku tulis aja apa harapanku.


Nulis harapan juga nggak cuma buat yang ‘jauh-jauh’ waktu. Walapun itu mepet ‘waktu’ yang kita inginkan, harus ditulis juga! Misal, hari ini hari H deadline apply suatu x, nah kita kebetulan belum sempet menulis dan hasilnya diumumkan beberapa hari lagi atau bahkan besok! Yaudah tetap tulis aja harapan kita.

Nulis harapan juga nggak cuma buat harapan yang menurut kita itu “wow”. Sesimpel kita pengen join acara x, pengen masuk organisasi itu, pengen selesai tugas/PKL/skripsi bulan (atau bahkan tanggal) sekian, pengen lulus sebelum x atau setelah y, pengen dapet IP/IPK sekian dan ditulis dengan target nilai yang dijabarkan sekian sekian…
Foto berikut menjadi bukti bahwa impian yang aku tulis dan tempel bisa terwujud. Meski nggak semua yang aku tulis terwujud (dan aku menyadari harapan yang belum tercapai ini kadang belum aku lakukan secara all out atau kemungkinannya kecil), TAPI ada banyak hal yang aku merasa itu ‘nggak mungkin’, ternyata Allah bisa ‘mungkin’kan :’)

Bukan bermaksud sombong atau apa, tapi ini sebagai bukti ‘kesaktian’ menulis harapan... ๐Ÿ˜„








Saat belum terwujud aku sengaja nggak nyopot kertas itu, ternyata terjadi di tahun 2017 dan 2018.
Bahkan saat aku menulis di MEI 2016 aku nggak menyangka kalau bisa internship di sana 2 kali!


Harapan se-"sepele" gini tetep ditulis gengs :')

IP Semester 6: 3,54; Semester 7: 3,92; Semester 8: 3,93
Ini aku tulis di minggu2 awal kuliah semester 6. Saat hasil semester 6 keluar, ternyata belum mencapai target. TAPI Allah kasih LEBIH di semester 7 dan 8 :')





Kucoret hitam karena waktu itu sempat "gagal" namun pada akhirnya aku menjadi "terpilih" :') (kucentang hijau)

Saat 2016 berakhir, aku nggak nyopot kertas itu dari dinding.
Siapa yang menyangka, ternyata Allah kasih di 2018, karena IA memberi di saat yang TEPAT :') 

3. 
Minta doa restu orang tua, terutama Ibu. Menurutku ini adalah bagian yang sangat PENTING. Aku selalu cerita dan mohon doa setiap kali aku mau melakukan sesuatu, mau memproses sesuatu, mau apply sesuatu...

Cerita ke beliau juga di ‘awal’ yahh (usahakan sebelum kita memulai sesuatu itu). Jangan berpikir, ah nggak mau cerita dulu, nanti takut nggak jadi, ah orang tuaku bukan tipe-tipe yang suka diceritain, ah orang tuaku tipenya nggak peduli sama yang dilakukan anaknya, ah ah ah yang lain. Jangan! Siapa yang tau ketika kita telah bercerita, orang tua kita senantiasa menyelipkan doa untuk kita, senantiasa “nge-batin” buat selalu minta keselamatan, kelancaran untuk anaknya, bahkan beliau lakukan setiap saat. Minta doanya juga nggak cuma buat buat harapan yang menurut kita itu “wow”, seperti yang aku contohkan di poin nomor 2.

4. Visualisasikan impian kita (ini juga salah termasuk salah satu cara ‘berdoa’).
Misalnya, dengan menempel "foto" atau "gambar" harapan kita. Punya impian naik haji, boleh lah kita tempel gambar Ka'bah, sambil di-shalawatin gengs. Pengen punya gadget x, atau kendaraan x, boleh lah kita datangi counter/showroomnya sambil di-shalawatin, atau foto juga. Nggak perlu malu atau ragu kalau merasa awkward di depan orang lain. Emang mereka yang mau "mengabulkan" impian kita? 

Contoh lagi, saat aku ingin lulus dengan IPK cumlaude, aku pinjam slempang itu dari kakak tingkat lalu aku berfoto dengannya. Aku berharap supaya ketularan apa yang diraih oleh kakak tingkatku. Padahal saat itu aku merasa "SULIT" untuk meraihnya.

Ini juga menjadi salah satu REAL ACT dalam mewujudkan impian kita.

5.  Usaha (bener-bener diusahakan!, sampai titik darah penghabisan). Tentu saja usaha secara jujur yaa… Andaikata pahit-pahitnya kita nggak bisa melakukan secara all out, berdoalah, minta sama Yang Maha Kuasa. But remember, hasil tiada pernah mengkhianati usaha. Gagal berkali-kali justru membuat kita semakin belajar. Nggak boleh nyerah!
Kita pun harus merelakan waktu ‘me time’ kita yang kurang berfaedah. Boleh lah buat melepas penat, namun jangan sampai keblablasan.

Semoga bermanfaat ^_^

Friday, September 7, 2018

Ketinggalan Pesawat!?


Ini cerita perjalananku saat mau ke sebuah kota kecil di negara yang terkenal akan sakura-nya. Kota yang sebelumnya belum pernah aku dengar. Berbeda seperti Tokyo, Osaka, Sapporo, dan Fukuoka yang sering kita dengar. Kota yang membuat aku jatuh cinta sejak pandangan pertama. Saat pertama aku menginjakkan kaki di kota itu, adem rasanya melihat di sekeliling banyak pepohonan, pegunungan, jauh dari hiruk pikuk keramaian, meski saat itu cuaca sangaaat panas karena sedang summer.

Tempat itu bernama Kochi. Yap, Kochi Prefecture. Mungkin di Jepang, istilah “prefecture” itu semacam provinsi... Sebenarnya saat pertama menginjakkan kaki bukan di Kochi City, tapi di Nankoku City, tempat di mana Kochi Ryoma Airport berada. Ini bukan bandara internasional sehingga saat dari Indonesia aku tidak langsung ke sini melainkan ke Tokyo (Haneda Airport) dahulu, yang ada imigrasinya.

Foto Kochi Ryoma Airport



Aku pun berangkat dari Jogja. Jadi aku perlu 3 penerbangan untuk sampai ke Kochi. Dari Jogja – Jakarta, Jakarta – Tokyo, Tokyo – Kochi. Aku menggunakan pesawat ANA (All Nippon Airways). Saat dari Jogja tidak ada pesawat ANA sehingga connecting flight yang ada yaitu dengan Garuda Indonesia. Alasan kenapa aku naik ANA, karena memang tinggal “manut” saja—udah dibeliin. Berapa harga tiketnya? Hehe. Kalau nggak salah, di booking information tiket Jogja-Kochi PP sekitar hampir JPY 125.000 (silakan dirupiahkan sendiri). Maskapai ini menyediakan bagasi 2 x 23 kg, sangat lebih dari cukup! Bahkan termasuk dari yang Jogja ke Jakarta (menggunakan Garuda). Enaknya connecting flight itu nggak perlu repot-repot mindahin bagasi. Saat dari Jogja sampai di Jakarta untuk lanjut ke Tokyo, aku nggak perlu mindah bagasi. Tapiii, tetep aku harus mindahin bagasi saat sampai di Tokyo untuk meneruskan ke Kochi untuk keperluan custom di imigrasi (kali aja aku bawa barang yang aneh-aneh dari Indonesia untuk diselundupkan ke Jepang wkwk, nggak lah).

Flight dari Jogja ke Jakarta hingga Tokyo aman-aman saja. Nggak ada delay atau apa, dan sampai di sana tepat waktu. Perjalanan ke Tokyo dari Jakarta sekitar tujuh setengah jam. Waktu transit di Tokyo sekitar 4 jam. Aku tiba di Tokyo pukul 6.50 pagi, flight selanjutnya ke Kochi pukul 11.25.

Sembari menunggu waktu transit aku sudah berencana untuk bertemu temanku, orang Jepang yang sudah kukenal sejak 2 tahun lalu. Sebut saja namanya Ayana. Saat itu aku baru bertemu dia pukul 8.00 karena kereta yang dia naiki untuk menuju bandara ada masalah. Dia berencana mengajakku ke salah satu tempat yang cukup terkenal yaitu Asakusa.

Nah, salah satu hal penting yang diperlukan di LN yaitu simcard untuk internet. Sebelum ke Asakusa, aku meminta Ayana untuk membantuku membeli simcard, sebagai penerjemah, hehe. Saat mampir di toko-toko dalam bandara, hanya sedikit toko yang menyediakan simcard dan itu pun mahal-mahaal (bagiku) :( akhirnya kami memutuskan untuk beli yang ‘paling murah’. Hampir 300rb untuk 1,5 GB aja… Nah, pegawai di toko itu tidak menyedikan jasa ‘masang/nge-setting simcard’. Kami harus ‘masang’ sendiri. Sudah beberapa kali di coba di hpku, nggak bisa-bisa, Ayana pun nggak tau cara settingnya. Rupanya di Jepang, simcard untuk orang lokal sedikit berbeda. Bukan kayak yang lepas-pasang gonta-ganti kartu, jadi dia ikut bingung untuk ngesetting simcardku (simcard untuk turis asing). Akhirnya simcardku kucoba di hp temanku (aku berdua bersama temanku ke Jepang). Untung waktu itu memang sengaja beli 1 dulu buat trial and error. Akhirnya simcard itu bisa tersetting di hp temanku. Hp kami berdua beda brand dan opsi setting di hpku nampak beda dengan hp temanku, hal ini yang membuatku bingung.

Tinggal hpku aja nih yang masih perlu simcard. Kenapa kok nggak beli di Kochi aja? Soalnya, di Kochi bukan tempat yang sepopuler kota lain untuk turis asing, jadi khawatir kalau nggak bisa dapat simcard di sana. Waktu menunjukkan pukul 9.00, sudah sejam kami ‘riweuh’ sendiri untuk masang simcard. Ayana bingung, mau jadi ke Asakusa atau nggak. Waktu transit semakin terbatas. Dia pun nggak yakin kalau di Asakusa bisa menemukan simcard yang cocok. Akhirnya kami memutuskan untuk ikut Ayana, ia search google maps di mana toko gadget terdekat. Ayana belum familiar daerah sekitar Haneda Airport karena dia jarang bepergian di sekitar situ.

Kami naik kereta, jalan kaki cukup jauh untuk sampai di toko itu. Saat di toko, simcard yang kami temukan ternyata sama saja seperti yang ada di bandara. Dengan kuota dan harga yang sama! Namun bedanya, di sini ada staff yang bisa membantu masang simcard. Waktu menunjukkan pukul 10 lebih. Flight selanjutnya pukul 11.25 dan kami harus boarding mulai pukul 11.00.

Fix, kami nggak jadi ke Asakusa. Kami masih punya cukup waktu untuk kembali ke bandara penerbangan domestik tepat waktu. Kami lari-lari untuk mencapai stasiun kembali, untuk ke bandara. Waktu sudah pukul 10.30 lebih. Kami ketar-ketir apakah flight selanjutnya bisa terkejar.

Dag dig dug… Dag dig dug…

Dan ternyata kami SALAH NAIK KERETA! Kami naik kereta ke arah lawan menuju bandara. Waduh :(( Fix ini bakal ketinggalan pesawat karena harus putar balik arah, berhenti di stasiun dan nunggu kereta lagi. Ayana meminta maaf karena dia nggak tau kalau tadi kereta arah lawan. Aku nggak bisa menyalahkan dia karena aku pun juga nggak ngerti apa-apa. Aku meminta dia untuk menghubungi bandara agar menyediakan buggy untuk aku dan temanku menuju ke gate. Ternyata hasilnya Nol. Nggak ada informasi tentang ketersediaan buggy.

Akhirnya sampai di security check bandara pukul 11.05 atau 11.10 (aku lupa, saking hecticnyaaa). Nggak sempat lagi berfoto dengan Ayana. Hanya ucapan “hati-hati” dan “perpisahan”. Aku meminta petugas untuk barang-barangku dicek duluan tetapi mereka tetap mengecek menurut antrian. Jepang tetaplah Jepang, mau ketinggalan pesawat atau enggak tetep harus antri. Untungnya bagasi-bagasi sudah dicheck in sebelum kami mencari simcard.

Saat liat denah gate yang ada, gate kami terletak hampir di ujung! Aku lari-lari sambil teriak “Excuse meee, it’s my last call” supaya orang-orang mau minggir memberiku jalan, sampai mau pingsan rasanya! Cari buggy juga nggak ada! Sedih banget :(( Ini kok nggak sampai sampai ke gate-nya. Dari tadi sekian puluh meter lagi, sekian ratus meter lagi. Aku udah pasrah seandainya ketinggalan pesawat. Sepanjang jalan, dari saat di kereta aku udah ‘pasrah’ apapun yang terjadi nanti. Aku hanya bisa berdoa, ya Allah, berilah yang terbaik, bila memang ini belum rezeki (ketinggalan pesawat) maka kuatkan aku, permudah mencari tiket lain. Di sepanjang jalan dan lari-lari, aku memikirkan plan A sampai Z apabila nanti ketinggalan. Sekian menit yang singkat itu, aku pun hanya bisa berdoa dan berdzikir, hanya meminta pertolongan-Nya. Sedikit berharap pesawat di-delay atau apapun biar nggak ketinggalan. Akhirnya aku sampai di depan gate pesawat-ku. Aku udah mikir kalau ‘belalai’ untuk menuju dalam pesawat (apasih namanya, aku sebut itu belalai wkwk) udah nggak tersedia karena pesawat udah menjauh dari gate dan persiapan untuk take off. Ternyata pesawat masih ‘menunggu’ kami, Alhamdulillah! Sampai di depan gate tepat pukul 11.20 yang itu artinya pukul 11.25 gate closed! Aku sampai di gate 5 menit sebelum gate closed! Aku masuk ke pesawat dengan kondisi lemas, keringetan, suara udah mau hilang.

Dihitung-hitung sepertinya jarak dari security check ke gate sekitar 1 kilometer atau lebih. Jarak sejauh itu aku tempuh dengan berlari 10-15 menit. Pantas aja bikin mau pingsan :((

Hikmah dari kejadian ini yaitu, selimit apapun waktu, ketika mengalami kesusahan, ingat Allah. Walaupun kesannya ‘sepele’ untuk berdoa/minta sama Allah tapi kepada siapa lagi meminta pertolongan, apalagi itu masalah ‘waktu’, yang manusia nggak bisa mengubahnya, selain meminta pertolongan kepada Allah. Alhamdulillah, Allah masih sayang kepada kami… Kami masih bisa meneruskan perjalan ke Kochi dengan selamat :’)
                                                                                                                           

Friday, August 24, 2018

Ngapain Sih ke Luar Negeri?

  
Pergi ke luar negeri nggak buat ‘gaya-gaya’ doang ya! So many things that will broaden our perspective when we go abroad. Daaan di LNnya juga nggak cuma sama teman Indo aja dong. Okelah kalo ke LN serombongan sama kerabat Indo, mau cari makanan halal, mau cari waktu dan tempat sholat, bisa dicari bareng-bareng. Kalo diri kita cuma sendiri?

Nambah wawasan, jaringan, pengetahuan, itu udah pasti yaa. Mungkin ini cerita dari sisi yang berbeda.

Aku mau share pengalamanku ketika beberapa kali stay di LN bareng orang LN, dan aku yang Muslim seorang diri. Kita akan merasakan hal-hal yang itu mungkin nggak akan kita dapatkan di Negara sendiri, atau daerah yang sebagian besar satu kepercayaan dengan kita.

Bagaimana kita bilang ke teman di sana kalau kita nggak makan babi (mostly mereka nggak tau apa itu halal), jadi biasanya aku bilang nggak makan babi/mengandung minyak babi. Padahal daging lain (ayam, sapi, dll) pun nggak terjamin itu halal atau makanan itu nggak terjamin bebas dari minyak babi. Aku pernah saat di tempat makan, seorang chef menunjukkan kemasan daging yang belum dimasak, ada logo halal-nya (Biasanya di Negara maju, daging sapi ber-halal certified, karena memang sudah menjadi regulasi untuk menyembelih secara halal). Daging sapi yang tersertifikasi halal pun nggak terjamin dimasaknya nggak bareng sama yang daging babi.

Pernah juga temanku mengira kalau aku nggak makan ‘potongan daging babi’nya nggak apa-apa. Waktu itu ada makanan semacam nasi goreng yang itu ada campuran smoked beef tapi pork. Temanku bilang, ini makan aja, nanti pork-nya disisihkan buat aku. Huehehe terus aku jelasin kalau yang seperti itu juga nggak bisa karena pork-nya mixed with the food.

Bagaimana kita sholat di tempat umum kalau pas nggak nemu prayer room, di tempat terbuka, dilihatin banyak orang.

Bagaimana kita ‘izin’ untuk sholat di tengah kegiatan sedang berlangsung (biasanya saat kita mengikuti agenda yang diadakan oleh pihak sana (yang mostly non Muslim) nggak ada waktu khusus break buat sholat). Apalagi kalau minta dicarikan ‘tempat yang aman’ buat sholat.. Bagaimana kita sholat di pinggir jalan/pojokan/tempat terbuka kalau kegiatan sedang berlangsung di luar.

Bagaimana kita pintar-pintar curi waktu buat sholat. Saat ada kesempatan, aku cari waktu buat sholat dhuhur-ashar karena acara dari pagi sampai malam. Ini salah satu dokumentasi saat aku menemani temanku sholat di pinggir jalan bersama dengan teman dari Uzbekistan.

Ceritanya kami sedang mengikuti festival tarian yang mana menarinya dari jalan ke jalan (moving terus). Saat sedang break sebentar dan kami putuskan untuk sholat. Aku jagain mereka (karena aku lagi ‘libur’) biar kalau ada orang tanya, aku yang jawab. Waktu itu rombongan udah mau lanjut ke tempat selanjutnya. Teman-teman yang lain udah pada jalan lalu staff menyuruh kami untuk jalan juga. Aku kasih ‘sign’ kalo temanku lagi ‘pray’. Yah staff menunggu kami sampai selesai, Alhamdulillah, baik banget. Kata temanku saat sholat “rasanya kayak bener-bener di antara hidup dan mati, udah nggak kepikiran ketinggalan rombongan, yang ada di dalam pikiran cuma yang penting sholat dulu..”. Sayang sekali, aku lagi nggak bisa merasakannya karena libur, hehe..

Bagaimana kita mau membaca Al Qur’an di depan mereka. Bagaimana kita sholat di depan mereka saat stay sekamar dengan mereka. Kenapa kita ‘pray’ beberapa kali dalam sehari. Izin dulu laah kalau kita mau ‘pray’ sebentar. Saat aku memulai sholat—mengucap Allahu Akbar (dalam hati), suasana hening seketika wkwk, sedikit awkward๐Ÿ˜‚ Entah mungkin mereka lihatin kita saat sholat, atau saling pandang-memandang (kalau ada beberapa orang LN). Selain sholat sendiri di kamar (yang mana sekamar dengan teman2 LN), aku juga pernah yang sholat sendiri di temple! Temple guys, you know? Temple-nya orang Buddha… waktu itu sempat beberapa hari aku dan team stay di sana (cuma aku yang Muslim). Di temple itu banyaak anjing mondar-mandir ๐Ÿ˜Ÿ aku Bismillah aja karena not sure tempat yang aku pijak buat sholat itu ada najisnya atau enggak. Aku juga cari tempat yang sekiranya ‘nggak terekspos’, seperti di balik tiang-tiang besar temple.
Ini foto temple saat aku stay, aku sholatnya di balik tiang-tiang itu. Bisa dilihat di pojok, itu ada patung-patung. Maaf sedikit disensor, ada foto teman sedang tiduran hehe.
Kotak-kotak yang dipasang itu anti-mosquito net gengs, hehe. 

Jelasin kenapa kita (muslimah) pakai hijab. Kenapa hijab ‘model’nya macem-macem (ada yang lebar menutup dada, bahkan nutup wajah (cadar maksudnya), atau ada yang pendek, malah cuma ‘turban’). Kenapa ada wanita muslim tapi nggak berhijab. Apakah di Indo wanita-nya berhijab semua? Wkwk, mungkin pernah ada yang mengira kalau dari Indonesia itu pakai hijab, padahal di Negara kita juga diverse yaa…

Bagaimana ketika ada teman laki-laki mengajak bersalaman.. Setelah mereka tau, mereka jadi lebih ‘menghormati’ kita lhoo, hihi..

Jelasin kenapa kita puasa. Pernah aku ke LN saat waktu puasa. Kenapa aku puasa tapi kok dia (teman sesama orang Indo) nggak puasa (karena dia bukan Muslim).. Orang LN mengira semua orang Indo puasa. Mereka belum tau kalau yang puasa itu yang Muslim. Puasanya nggak boleh makan aja tapi boleh minum, atau nggak boleh makan-minum sama sekali? Puasanya dari kapan sampai kapan? Puasa selama berapa hari? Mereka heran hehe kok bisa kuat yaa..

Bagaimana kita berkenalan dengan orang atheis. Mereka yang baru denger ‘Muslim’ pas ketemu kita. Bahkan mereka nggak tau apa itu ‘agama’ yang otomatis nggak tau apa itu Muslim, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dll…

Saat kita dekat dengan mereka kemudian mereka dan kita terbuka untuk sharing yang lebih “privasi”,  mereka pernah bertanya ke kita Apakah kamu bisa menikah dengan orang yang bukan Muslim? Hehehe..

Ketika aku melakukan kegiatan relawan vaksinasi anjing, mereka ada yang sedikit tau bahwa Muslim nggak boleh menyentuh anjing. Nah itu dijelasin sebenernya gimana, bukannya “nggak boleh” namun kita harus membersihkan setelah menyentuhnya. Apakah itu menyentuh anjing keseluruhan atau air liurnya saja, itu juga dijelasin.

Bagaimana kita (muslimah) tetap ‘tertutup’ saat memasuki onsen. Apa itu onsen? Hehe. Jadi, onsen itu tempat berendam air panas yang semua orang di situ totally naked! Yah, jadi kita bisa melihat ‘privasi’ semua orang yang ada di dalam onsen itu (maaf) dari atas sampai bawah (of course, onsen wanita dan pria terpisah). Saat aku mau masuk, aku minta izin untuk tetap mengenakan pakaian tertutup (aku bawa baju muslimah yang bisa buat renang itu). Mungkin karena alasan religi, mereka tetap welcome dan membolehkan aku dengan yang ‘satu-satunya mengenakan baju’ saat memasuki onsen, hehehe merasa ‘terhormat’ banget :’)
Inilah onsen. Aku ngga bisa ngefoto saat aku di sana karena untuk menjaga privasi (pict from : trip101.com)

Ke kampus udah biasa lihat orang pake kaos oblong, sandal, celana pendek (cowok), celana atau rok pendek banget (cewek), tank top, dll. Berbeda sekali dengan budaya kita yang kalau ke kampus paling enggak pakai kaos berkerah, rok nggak yang pendek-pendek banget lah, bahkan harus pake kameja (tergantung kebijakan kampus masing-masing sih..)

Ke luar negeri membuat kita menjadi belajar untuk menghormati orang lain—orang-orang asing ituuu yang nggak akan kita temui ‘suasana’nya kalau kita di Negara sendiri, menghargai perbedaan ras, suku, dan agama. Belajar berkomunikasi dengan bahasa yang tidak menyakiti (bahasa Inggris tentunya, atau bahasa mereka). Menghormati budaya atau kebiasaan yang ada di daerah / Negara tersebut.

Bumi Allah itu luaass. Ketika kita traveling, semakin jauh tempat yang kita kunjungi, kita akan mengalami banyak hal berbeda. Kita akan bisa membandingkan di sana bagaimana, di sini bagaimana. Kita ambil hikmahnya, membuat kita lebih banyak bersyukur kepadaNya..

Saturday, August 18, 2018

Cobalah! Kan belum tau hasilnya!

Coba dulu lah!

Ah enggak, aku nggak bisa ini ini ini. 
Aku nggak punya kemampuan ini itu ini. 
Aku nggak memenuhi syarat itu ini.
Aku rasa waktunya nggak cukup buat ngurus berkas.
Aku rasa aku nggak bisa.........................

Hmmm grr gregetan banget kalo aku udah denger kalimat kayak gitu. Masa belum dicoba udah nyerah duluan. Gimana mau tau batas kemampuannya?!

Kita nggak akan pernah tau sampai seberapa batas kemampuan kita sampai kita mencobanya!—quoted by me ๐Ÿ˜œ (Aku rasa hal ini relevan bagi setiap orang yang pernah mengalaminya).

Aku udah beberapa kali membuktikannya. Cukup 2 kisah aja yang diceritakan, aslinya banyaaak (hehe nggak terlalu banyak juga tapi ada beberapa). 

Pertama waktu aku apply AVVP (ASEAN veterinary student volunteer project 2016) yang diselenggarakan di dua Negara. Salah satu syaratnya yaitu ditujukan buat mahasiswa tingkat akhir (scara, salah satu isi dari program tersebut yaitu ngobatin/nyuntik dan operasi pasien, yang udah pasti mahasiwa tingkat akhir udah dapat materinya). Saat itu aku masih mahasiswa tingkat 2 (semester 4) yang belum tau banyak tentang praktik menangani hewan di lapangan.

Saat itu (pertengahan 2016) ada 2 angkatan di atasku (tingkat 3 dan tingkat 4, karena ada pergantian sistem kuliah dari BLOK ke SKS) yang mengikuti program KKN, yang itu bertepatan dengan tanggal AVVP. Nah, lalu aku mikir, kayaknya nggak ada yang daftar nih. Lalu aku “iseng”—iseng yang dibarengi dengan niat—untuk mencoba daftar program itu. Eh saat hari H dipanggil untuk interview ternyata tetep ada kakak tingkat yang daftar. Ada dua orang kakak tingkat, aku dan 1 teman seangkatan denganku. Kuota untuk program ini untuk 2 orang. Kedua kakak tingkat ini pun yang satu sedang wajib KKN (tapi jadinya menunda KKN) dan satunya sedang wajib koas. Otomatislah mereka yang terpilih—dua kakak tingkat itu—karena ilmu mereka lebih mumpuni—yang itu aku masih butiran debu.
Hiks hiks gagal lagi.

Suatu ketika, aku sedang di rumah, di kampung halaman. Tiba-tiba dosen yang menyeleksi saat itu nge-WA, menawarkan untuk mengganti salah satu kakak tingkat yang kemarin lolos (anak koas)—karena dia tidak dapat izin saat koas. Sebenernya “kesempatan” itu 50:50 untuk aku dan temanku. Tapiii karena aku yang udah punya paspor, Alhamdulillah, jadilah aku yang berangkat! Nggak mungkin juga nunggu temanku membuat paspor karena udah mepet hari H acara dan penyelanggara udah sangat membutuhkan no ID peserta (no paspor) untuk keperluan akomodasi.

Cerita selanjutnya, ini saat aku berencana untuk mengisi waktu luangku menunggu wisuda sarjana. Aku coba semua program—yang aku minati—yang available saat itu (ada sekitar 4 - 5 program), soalnya aku nggak tau program mana nanti yang bakal lolos, jadi Bismillah aja aku coba semua.

Salah satu program yang aku apply yaitu short program di negeri sakura yang itu mensyaratkan untuk freshman dan sophomore—sedangkan aku udah jadi mahasiswa “tua” a.k.a tingkat akhir. Berkebalikan saat aku apply program 2 tahun lalu, ditujukan untuk mahasiswa tingkat akhir sedangkan aku masih sophomore.

Ohya, one more thing. Program ini bertemakan Engineering dan diselenggarakan di Technology University. Well, aku anak kedokteran hewan, masa iya mau daftar? Masa iya berkualifikasi?

Bismillah aja deh kudaftar, siapa tau nggak ada yang daftar kan nanti aku yang lolos wkwk, pikirku begitu. Sebenernya salah satu berkas yang aku kumpulkan juga belum terkualifikasi seperti sertifikat TOEFL, saat itu aku belum menyerahkan yang ori. Berbekal pengalaman “berkali-kali gagal” aku serahkan berkasku mulai dari CV, motivation letter (yang isinya hampir sama dari dulu-dulu cuma diimprove sedikit wkwk), surat keterangan2 dari kampus yang nggak cuma 1 biji, dan lain-lain.

Kuota untuk program ini yaitu 2 orang. Saat H-1 deadline pengumpulan berkas, baru 3 orang yang mendaftar, aku yang ketiga (kami mengisi list pendaftar saat mengumpulkan berkas). The next few days, ada email masuk untuk interview. Aku cukup kaget saat datang interview ternyata hampir 20 orang yang daftar wkwkww (ternyata mereka ngumpulin berkas saat hari H deadline!). Udah deh pasrah aja, Bismillah. Aku saat itu udah ada feeling nggak enak, pasti nggak akan lolos. Saat sesi interview lagi wkwk aku tambah merasa bagaikan butiran debu, mereka keren-keren dan menurutku banyak yang berkualifikasi seperti freshman dan sophomore, anak teknik dan mipa lagi! (Cuma aku anak kedokteran hewan yang daftar). Tapi selain anak saintek, ada juga anak soshum, ilmu budaya, ekonomi, bahkan magister yang daftar!

Udah deh pasrah, udah merasa nggak ada harapan bakal diterima. Daaan aku juga udah menyiapkan berkas yang mau aku submit buat program lainnya (beberapa udah aku submit, beneran deh karena aku nggak ada feeling bakal diterima!)
Sampai suatu ketika ternyata aku dinyatakan lolos (dikasih tau sama teman kenalan saat daftar via chat karena pengumumannya lewat email—emailku tidak kupasang notif di hp). Sampai nangis di perpus karena aku bener-bener nggak percaya…….. *lebay hehe.

Jadi, JANGANLAH TAKUT MENCOBA!

Ah aku nggak punya sertifikat bahasa Inggris. Ah aku skornya belum sampai segitu. Ah pengalamanku belum banyak. Ah aku nggak bisa bikin motivation letter yang bagus. Ah aku nggak PD buat join, ah ah ah yang lain, STOP IT GUYS!

Mana tau kan kalo misal yang apply cuma 1, atau mungkin berkas peserta lain ketlingsut sehingga kamu yang lolos. Atau mungkin skormu mepet tipis-tipis tapi masih “diberi ampun”, atau mungkin skormu jauh dari target tapi ternyata nggak diliat berkasnya sama penyeleksi, atau mungkin ternyata dipilihnya secara random, atau mungkin berkasmu belum lengkap tapi masih ada ekstensi waktu, atau bahkan berkas itu nggak usah dikumpul ternyata sebenernya nggak apa-apa, atau mungkiiin, mungkin yang lainnya, yang NGGAK AKAN PERNAH KAMU DUGA! 

At least kamu udah nyoba dan kamu akan tau seberapa kemampuanmu. Mana ada yang tau rencana yang tepat dari Allah, dan ingat! Rezeki nggak akan tertukar ^_^

Berdasarkan pengalaman pribadi, ada beberapa kunci keberhasilan buat dapatkan apa yang kamu impikan. Apa aja kuncinya? akan aku bahas di next story... 

Friday, July 27, 2018

Ke China Lagi?

Aku selalu punya rencana untuk mengisi liburanku dengan hal-hal yang berfaedah, misalnya internship baik di dalam maupun luar negeri. Mengingat selama kuliah S1 mostly yang aku dapatkan teori aja, sedikit praktik. Kali ini adalah liburan “semester terakhir”. Yap, semester 8.
source: history.com

Waktu itu 'nggak sengaja' nemu info di grup angkatan bahwa Charoen Pokphand  Indonesia menawarkan beasiswa internship plus reward tour ke China dengan nama program Charoen Pokphand Best Student Appreciation (CPBSA) Batch II. Ternyata saat Bacth I universitas ku belum masuk list untuk bisa mendaftar program itu, baru 4 universitas se-Indonesia dan hanya untuk mahasiswa peternakan, kalau nggak salah. Sekarang program ini dibuka untuk mahasiswa kedokteran hewan dan peternakan di + 10 universitas *cmiiw.

Wah kesempatan bagus nih, selama ini aku belum pernah internship di bidang perunggasan dan aku memang lagi butuh banget ilmu tentang dunia perunggasan mengingat 70% profesi kedokteran hewan Indonesia ada di bidang perunggasan. Sebelum-sebelumnya aku selalu internship di pet animal dan hewan ternak besar. Karena aku “masih banyak pilihan” untuk memutuskan nanti pasca lulus dokter hewan mau fokus di bidang apa. Apapun bidang yang akan kujalani nanti, aku berharap, aku bisa berkontribusi yang terbaik sehingga aku harus mempersiapkan diriku dengan "bekal yang cukup". Saat kulihat syarat-syaratnya, hmm aku berpikir, "apa aku bisa ya? Kayaknya aku nggak memenuhi semua itu". Seperti pada cerita yang pernah aku post, aku yakin sama kalimat ini “Kita nggak akan pernah tau sampai seberapa batas kemampuan kita sampai kita mencobanya!

Aku juga berpikir, kayaknya teman sekampus ga ada yang minat buat apply2 semacam ini—I don’t know why until now!—it means memperbesar peluangku kakaaa๐Ÿ˜…. Benar saja, hanya sedikit yang daftar dari kampusku.

Oke deh akhirnya aku coba. Aku merasa tidak terlalu memenuhi semua syarat yang diberikan, tapi aku yakin akan mencobanya! Berbekal pengalaman yang pernah aku peroleh, aku berpikir keras bagaimana membuat me with ‘my own privilege’ untuk bisa lolos.  Serta minta doa restu orang tua pastinya (dari awal sebelum seleksi—bahkan pas baru liat pengumumannya, hingga melewati tahap seleksi selanjutnya).

Satu hal yang berbeda dari syarat seleksi batch sebelumnya dan aku interest yaitu persyaratan membuat video WHY ME—kenapa saya pantas untuk menjadi peserta program itu. Aku suka edit video tapi ada hal yang cukup bikin ‘pusing’ yaitu memikirkan konten. Aku harus all out dalam membuat video, nggak boleh asal-asalan.

Salah satu persyaratannya yaitu memiliki kemampuan bahasa Inggris dengan baik. Nah, justru dengan adanya ‘disuruh’ bikin video ini, sekalian aja ngomong pakai bahasa Inggris buat membuktikan kemampuan bahasa Inggris yang dimiliki. Kalo nggak gitu, gimana caranya membuktikan kemampuan bahasa Inggris kalau nggak ada “real act”—pikirku begitu, wkwk *mungkin persepsi tiap orang beda-beda.

Syarat yang lain “Berkepribadian terbuka, percaya diri, menghargai perbedaan, kreatif….dst”. Aku punya ide untuk membuat video testimoni tentang diri ini dari kerabat dekat, kemudian video-video itu di-mix jadi satu. Tapiii, aku berpikir lagi kalau hal itu udah mainstream. Di situ aku ingat kalau aku punya banyak teman dari luar negeri. Yap! Aku meminta mereka untuk membuat video berdurasi pendek yang berisi dukungan untukku dalam mengikuti program ini. Aku cuma meminta video berdurasi 8-10 detik. Kenapa? Kalau terlalu lama, aku pikir hal itu akan jadi membosankan๐Ÿ˜•. So, hanya ada 1 video lama yang aku request ke temanku dengan skenario tertentu, ehehe… Mungkin dari ide ini juga bisa menampilkan kemampuan intrapersonal dan interpesonal *kalo kata salah seorang teman sih...* karena secara nggak langsung, aku bisa berinteraksi dan punya hubungan baik dengan mereka (teman-teman di luar negeri). Videoku bisa dilihat di sini ๐Ÿ˜„

Beberapa minggu kemudian ada pengumuman bahwa aku lolos. Eits, ternyata masih ada tahap seleksi selanjutnya which is nggak dikasih tau dari awal—poster yang diberikan kalau ternyata masih berlanjut…. Seleksinya berupa psikotes dan interview yang itu semacam orang mau melamar kerja.

ALHAMDULILLAH sampai tahap akhir diumumkan, aku lolos! YA RABB, tiada nikmat yang bisa kudustakan :’)


Sebenarnya saat aku daftar program ini, aku juga lagi proses apply program lain. Aku nggak tau kenapa, menjelang libur semester ini lagi banyak banget chance yang berdatangan/ditawarkan—yang aku interest buat ikuut huhu, alhamdulillah yang aku tunggu-tunggu dari dulu datang juga—jadiii, yaudah deh aku daftar semua, karena aku nggak tau mana yang bakal lolos.

Di sisi lain ternyata aku juga lolos program di negeri tetangga yang tanggalnya ‘bertabrakan’ (nyempil di tengah-tengah) dengan serangkaian tanggal program CPBSA. Oleh karena—ternyata—seleksi program2 tersebut beriringan. Aku sudah dapat tiket PP, mengurus visa negeri tetangga, dokumen2 untuk presentasi, dan lainnya juga sudah siap. Suatu ketika saat mau mengurus program CPBSA, ternyata aku nggak bisa izin dari programnya dalam jangka waktu yang lama. Belum lagi nanti ditambah izin untuk mengurus wisuda dan koass (I won't delay my coass stage due to scholarship requirement). Waduh bingung banget nih kalau suruh milih yang mana. Dari selama seleksi keduanya aku juga sudah ‘khawatir’, ya Allah bagaimana ini, apakah aku bisa melewati keduanya? Aku percaya bahwa Engkau pasti akan memberiku yang terbaik, ya Rabb…

Yap, akhirnya aku memutuskan melepas CBPSA, karena banyaaak pertimbangan. Aku sudah fix menjadi peserta program di negeri tetangga, tiket gratis dari penyelenggara sudah di tangan, visa sudah jadi, nggak bakal bisa membatalkan yang ini—karena tidak mungkin menghadap head of OIA untuk mengundurkan diri a.k.a ribet ngurus penggantian delegasi. Selain itu masih harus ngurus wisuda, koass, which is harus bolak-balik tempat internship-Jogja (feeling-ku nggak ditempatkan internship di Jogja).

Ada rasa sedih dan ‘gelo’ dariku, keluarga, dan teman-teman yang senantiasa mendoakan dan mendukungku, itu wajar. Tapi aku percaya sama Allah bahwa rezeki nggak akan tertukar. Kali ini belum menjadi rezekiku. Mungkin diingatkan juga olehNya biar nggak rakus... Hmm, dua kali nggak jadi ke China, hehe (ceritaku yang sebelumnya ada di link ini). Mungkin suatu saat nanti. Percaya sama Allah, berserah diri sama Allah. InsyaaAllah, ketika rezeki itu datang atau pergi, kita akan merasa 'biasa', semua itu hanya titipan. Karena rezeki nggak akan tertukar, kan?